INFO: Novel 'The Da Vinci Code' Mengguncang Iman Kristiani

Da Vinci Code Mengguncang Iman Kristiani

Novel Dan Brown, The Da Vinci Code, menguak sejarah Yesus dan Gereja yang selama 2000 tahun terkunci rapat. Otoritas gereja kelimpungan membuat tangkisan.

Novel bermuatan agama nampaknya selalu mengundang kontroversi. Ini juga berlaku buat novel The Da Vinci Code. Mungkin, karena kontroversial, novel keempat Dan Brown ini menjadi novel terlaris tahun 2003 dengan total penjualan 5,7 juta eksemplar. Rekor penjualan selama 10 tahun yang dipegang novel The Bridges Over the Madison Country karya James Waller yang terjual 4,3 juta eksemplar pun terpecahkan.

Sejak terbit Maret 2003 lalu, sampai sekarang The Da Vinci Code sudah terjual lebih dari 20 juta kopi. Sepanjang 2003-2004, bisa jadi inilah buku yang paling sensasional. Selama 56 pekan (1 tahun 1 bulan), ia bertengger di puncak daftar buku fiksi terlaris versi The New York Times. Kini penerbitnya, Doubleday, masih terus mencetak buku yang telah diterjemahkan ke dalam 40 bahasa itu.

Di Indonesia, buku impor yang dibanderol Rp 65.500 untuk versi soft cover dan Rp 265.700 untuk hard cover juga laku keras. Sejak diterjemahkan penerbit Serambi, Juli lalu, kini sudah mengalami 9 kali cetak. Apalagi, setelah belasan media cetak berbahasa Inggris mengulas isinya. Di toko-toko buku, The Da Vinci Code dipajang mencolok. Beberapa toko buku di Jakarta sampai kehabisan stok thriller fiksi itu.

Saking larisnya, Columbia Pictures sudah melepas banyak duit untuk membeli hak ciptanya. Bintang-bintang Hollywood, seperti Russel Crowe, George Clooney, dan Tom Hanks yang biasanya jual mahal kalau ditawari main film, kini beramai-ramai melamar jadi pemain. Sebuah tim solid dengan sutradara Ron Howard, penulis skenario kelas berat, Brian Grazer dan John Galley, bekerja keras untuk film yang dirilis pada awal tahun 2006 itu.

Trio Howard, Grazer dan Goldsman adalah orang yang sama yang telah melahirkan Beautiful Mind pada tahun 2001. Film yang dibintangi aktor Australia, Russel Crowe itu menyabet dua buah Academy Award. Tak heran apabila Columbia Pictures yakin film The Da Vinci Code bakal mengguncang pasar. Saking optimisnya, perusahaan film inipun sudah membeli hak cipta karya Brown lainnya, Angels and Demons.

The Da Vinci Code memang fenomena. Sejak nongol sampai sekarang, novel tersebut memicu terbitnya 10 buku “perlawanan”. Semuanya mencoba mematahkan argumentasi yang ada di dalam The Da Vinci Code. Salah satu buku tandingan itu, Fact and Fiction in The Da Vinci Code karya Steven Kellemeier, telah diterjemahkan oleh penerbit Optima Press, Jakarta, Februari lalu.

Tak cuma itu. Beberapa gereja lokal pun menawarkan brosur dan studi pendampingan bagi mereka yang usai membaca novel itu, dan mempertanyakan iman kekristenannya. Sejumlah negara juga melarang peredarannya. Salah satunya adalah Libanon. Otoritas keamanan negara itu melarang novel yang isinya dinilai sangat bertentangan dengan keyakinan penganut Yesus dan melawan otoritas Gereja tersebut.

Mengapa para teolog, pastor, dan pendeta kelimpungan hingga sampai sibuk memberikan tangkisan? Jawabnya, “Buku itu telah menyerang sendi-sendi iman Kristen, sebab itu kami mesti bicara,” kata Erwin Lutzen, pastor senior Moody Church di Chicago, Amerika Serikat, penulis The Da Vinci Deception, seperti ditulis International Herald Tribune.

Meskipun cuma fiksi, Dan Brown yang populer lewat novel Digital Fortress membuka lembaran pertama novelnya dengan judul “Fakta”, “Biarawan Sion, perhimpunan rahasia yang dibentuk pada 1099, adalah organisasi nyata. Pada 1975, Bibliotheque Nationale dari Paris menemukan perkamen yang dikenal sebagai Les Dossiers Secrets, yang mengidentifikasi sejumlah anggota Biarawan Sion, termasuk Sir Isaac Newton, Botticelli, Victor Hugo, dan Leonardo Da Vinci”. Pada akhir halaman ini, ditulis : “Semua deskripsi, arsitektur, dokumen, dan ritual rahasia dalam novel ini akurat.”

Brown mengawali cerita dengan terbunuhnya Jacques Sauniere, seorang kurator di Museum Louvre, Paris. Di tubuh korban dan sekitar lantai, penuh coretan simbol yang menarik perhatian. Lalu muncul Profesor Robert Langdon, pakar simbolisme religi dari Universitas Harvard, Amerika, dan Sophie Neveu, seorang ahli membaca sandi atau cryptographer yang tertarik pada kasus itu. Si cerdas dan perempuan Paris nan cantik berambut burgundi itu pun sepakat menguak misteri itu.

Mereka mendapat informasi, ternyata korban mewarisi mantel Leonardo. Mantel itu menjadi penanda bahwa korban tak lain adalah pemimpin komunitas rahasia : Biarawan Sion. Kelompok itu bertugas menjaga The Holy Grail atau cawan suci. Dari situ, jalinan cerita makin seru dan rumit. Dalam penyelidikannya, Langdon dan Sophie dihadapkan pada berbagai alat bukti yang butuh penafsiran. Mereka juga bertemu dengan Sir Leigh Teabing, sejarahwan yang kaya raya.

Teabing inilah yang nantinya berperan dalam mengungkap tanda tersembunyi pada jalinan teks kitab suci dengan berbagai karya seni, arsitektur, dokumen, mitologi, sejarah gereja, dan ajaran dari sekte-sekte kristen. Dalam pencariannya, mereka harus terbang dari Paris ke London. Mereka dibuntuti seorang rahib bernama Silas dari kongregasi Opus Dei. Opus Dei itu didirikan seorang pastor asal Spanyol, Josemaria Escriva, 1928. Ini sekte Katolik yang amat taat, yang banyak menyulut kontroversi.

Cerita menjadi seru karena mereka juga diburu polisi khusus Prancis, yang menduga Langdon sebagai pembunuh Sauniere. Sebelum akhirnya cerita kembali lagi ke Louvre, tempat pembunuhan terjadi, pembaca dihadapkan pada serentetan kode, teka-teki, misteri, dan cerita konspirasi yang memukau. Sampai akhirnya, terbongkarlah konspirasi yang sudah berlangsung 2000 tahun yang terkait dengan sejarah agama Kristen, Yesus, dan Biarawan Sion di masa lalu yang melibatkan tokoh kondang., seperti Leonardo Da Vinci, Isaac Newton, Botticelli, dan Victor Hugo.

Brown lihai membangun cerita lewat dialog yang lahir dari Sophie dengan Langdon, Sophie dengan Teabing, dan antarmereka bertiga. Dalam dialog itulah, beragam tafsir kontroversial Brown muncul. Misalnya, di Bab 55, dialog Sophie dan Teabing membawa pembaca pada tafsir baru mengenai Konsili Nicaea tahun 325. Pertemuan uskup sedunia itu, menurut Brown, diselenggarakan atas gagasan kaisar Romawi, Kaisar Konstantin. Tujuannya untuk menekan puluhan ajaran keagamaan yang waktu itu muncul. Dalam kesempatan itu, kaisar mendesakkan doktrin soal keilahian Yesus Kristus.

Konsili itu, di mata Brown, penuh muatan politis, yakni hendak menaklukkan dan menyatukan rakyat dalam ideologi tunggal di bawah Kekaisaran Roma. Dengan membuat penyeragaman tersebut, Brown menambahkan, dominasi atas rakyat di wilayah kekuasaan Romawi relatif lebih mudah dilakukan. Gereja selama berabad-abad berpijak pada hasil konsili itu.

Tafsir lain yang juga kontroversial adalah soal Holy Grail atau Cawan Suci yang tampak dalam lukisan Perjamuan Terakhir (The Last Supper) karya Leonardo Da Vinci. Dalam bible dikisahkan, sebelum disalibkan, malam harinya Yesus melakukan perjamuan terakhir bersama ke-12 muridnya. Dalam perjamuan itu, mereka minum anggur dari cawan atau piala, dan memakan roti tak beragi. Menurut Brown, lukisan Da Vinci yang tak menampakkan piala itu menyimpan suatu pesan khusus. Ia berkeyakinan, cawan itu sekedar metafora, yang artinya adalah garis suci keturunan. Kata itu diambil dari terminologi bahasa Perancis abad pertengahan, Sangraal (Holy Grail), dari sang (blood berarti darah) dan raal (royal berarti suci). Darah suci atau garis suci keturunan itu, menurut Brown, asalnya dari Yesus dan Maria Magdalena, yang menurunkan Dinasti Merovingian di Perancis abad pertengahan. Bagi Brown, Cawan Suci yang selama ini ditutup-tutupi itu adalah Maria Magdalena itu sendiri.

Yesus telah menikahi Maria Magdalena. Cuma, hal ini sampai sekarang tertutup rapat. Otoritas Gereja menutupinya, karena bertentangan dengan doktrin Yesus sebagai Tuhan. Tak ayal, buku Brown ini telah meruntuhkan akidah kristiani bahwa ternyata Yesus punya istri dan anak. Anak keturunan Yesus itulah – salah satunya Leonardo Da Vinci – yang diburu dan dihabisi oleh kalangan mapan gereja.

Cerita mengenai ini ada pada legenda yang hidup di abad ke-11. Brown rupanya mengacu ke sana. Isinya menyebutkan bahwa Maria Magdalena kemudian datang ke Prancis dan mendarat di Marsailles. Ia muncul sebagai wanita Yahudi terhormat dari Galilea, Israel. Sampai kini masih diyakini bahwa keturunannya hidup di Prancis dan menurunkan beberapa nama besar, seperti Leonardo Da Vinci, Newton, dan Hugo.

Menurut para pengkritiknya, meskipun Brown meyakini semua jalinan cerita novel itu sebagai fakta kebenaran, materi dasar cerita itu dinilai tak kredibel, dan dinterpretasikan serampangan. Untuk kepentingan novel terbarunya itu, ia mengekplorasi beberapa buku, seperti The Gnostic Gospels karya Elaine Pagels, The Templar Revelation : Secret Guardians of the True Identity of Christ tulisan Lyn Pick-nett dan Clive Prince.

Buku lain yang mempengaruhi novel Brown adalah Holy Blood, Holy Grail dari Michael Baigent, Richard Leigh, dan Henry Lincoln. Selain itu, masih ada lagi penulis perempuan yang mempengaruhi penggemar Shakespeare itu, yaitu Margaret Starbird dengan buku berjudul : The Goddes in the Gospels, Reclaiming the Sacred Feminine dan The woman with Holy Jar : Mary Magdalena and the Holy Grail. Oleh para pengkritiknya, buku-buku itu adalah “omong kosong yang keterlaluan.”

Pemicu Kegoncangan Itu

Obrolan sensitif tiga tokoh fiktif dalam fiksi sejarah The Da Vinci Code menjungkirbalikkan pemahaman mapan Gereja Katolik. Berikut beberapa diantaranya:

• Konstantin mensponsori Alkitab

Raja Roma Konstantin menitahkan dan membiayai penyusunan sebuah alkitab baru, yang meniadakan semua ajaran yang berbicara tentang perilaku manusiawi Yesus, serta memasukkan ajaran yang membuatnya seakan Tuhan. Injil dan dokumen yang mencatat kehidupan Yesus sebagai manusia biasa dikumpulkan dan dibakar.

• “Yesus Tuhan” adalah hasil voting

Penetapan Yesus sebagai putra Tuhan bukanlah bersumber dari ajaran Yesus, melainkan dari hasil voting yang terjadi pada Konsili Nicaea. Penetapan ini tidak lepas dari kepentingan politik Konstantin. Gereja masa awal telah mencuri Yesus dari pengikut aslinya, dengan membajak pesan-pesan manusiawinya, mengaburkannya dalam jubah ketuhanan.

• Perempuan di Jamuan Terakhir

Tidak semua yang duduk di meja dalam Perjamuan Terakhir adalah laki-laki. Satu dari tiga belas orang dalam lukisan tersoho The Last Supper karya Leonardo Da Vinci adalah perempuan, yaitu Maria Magdalena. Maria duduk tepat di sisi kanan Yesus. Maria adalah sosok Yahudi ningrat dari klan Benjamin yang tidak lain adalah istri Yesus.

• Maria Pewaris Gereja

Pada Perjamuan Terakhir, Yesus telah menduga akan ditangkap dan disalib. Maka ia memberi Maria instruksi bagaimana melanjutkan Gerejanya. Yang diberi petunjuk adalah Maria, bukan Peter. Peter tidak puas karena dinomorduakan di bawah perempuan. Dalam lukisan Da Vinci, Peter mencondongkan tubuh ke arah Maria seolah mengancam.

• Cawan Suci adalah Maria

Cawan suci adalah kiasan untuk Maria Magdalena, perempuan yang mewadahi darah Yesus, mengandung keturunan Yesus Kristus. Dalam diri Maria mengalir tiga kekuatan luar biasa. Kekuatan sebagai pengemban titak Yesus untuk mengembangkan ajarannya, kekuatan sebagai istri yang mengandung anak Yesus, dan kekuatan sebagai keturunan raja Yahudi. Gereja, untuk membela diri dari kekuatan Magdalena, mengabadikan profil Magdalena sebagai pelacur dan menguburkan bukti-bukti pernikahan Kristus dengan perempuan ini. Gereja menghancurkan segala kemungkinan Yesus kawin dan mempunyai keturunan.

• Anak cucu Yesus ada di Perancis

Maria Magdalena hamil saat penyaliban Yesus. Untuk keamanan Maria tidak punya pilihan lain kecuali melarikan diri dari Tanah Suci. Dengan bantuan paman Yesus yang bisa dipercaya, Josef dari Arimatea, ia diam-diam pergi ke Perancis. Disana ia melahirkan anak perempuan bernama Sarah. Pada abad ke-5, keturunan Yesus menikah dengan bangsawan Perancis, menciptakan garis keturunan Merovingian. Klan inilah yang mendirikan kota Paris.

• Gereja menghabisi keturunan Yesus

Gereja terdahulu takut jika garis keturunan itu dibiarkan tumbuh, rahasia yang ditutup rapat akan terkuak, sehingga meruntuhkan doktrin fundamental Katolik. Di akhir abad ke-7 Vatikan bekerjasama dengan Pepin d’Heristal membunuh raja Perancis Dagobert. Pembunuhan Dagobert menyebabkan keturunan Merovingian hampir musnah. Namun putra Dagobert, Sigisbert, berhasil lolos dan melanjutkan garis keturunan Merovingian. Salah satu keturunannya adalah Godefroi de Bouillion.

• Biarawan Sion dan Ksatria Templar

Biarawan Sion didirikan tahun 1099 di Yerusalem oleh Raja Perancis Godefroi de Boullion, dengan misi menyelamatkan dan melindungi Holy Grail: dokumen rahasia tentang Maria Magdalena, keturunannya, dan ajaran Kristen sejati. Untuk kepentingan itu, dibentuklah Ksatria Templar. Dalam perkembangannya pengaruh Templar meluas di Eropa. Paus Clement V yang tidak suka dengan perkembangan ini bersiasat dengan Raja Perancis Philippe IV, untuk membubarkan templar dan merampas harta mereka. Paus mengeluarkan perintah rahasia dalam kertas bersegel yang hanya boleh dibuka oleh prajuritnya di seluruh Eropa pada hari Jumat, 13 Oktober 1307. Maka pada hari itu, ksatria-ksatria yang tak terhitung jumlahnya ditangkap, disiksa secara kejam, dan akhirnya dibakar di tiang pembakaran sebagai pelaku bidah. Hingga kini Jumat 13 dianggap hari sial.

• Holy Grail

Karena represi Gereja, Biarawan Sion bergerak sebagai kelompok persaudaraan rahasia. Mereka terus menjaga kerahasiaan Holy Grail, dan mewariskan rahasia itu turun temurun hingga era modern kini, melalui rangkaian pesan tersembunyi dalam anagram dan simbol. Termasuk dalam kelompok Persaudaraan Sion adalah Sir Isaac Newton, Botticelli, Victor Hugo, dan Leonardo Da Vinci.

Respon Kristen Atas The Da Vinci Code

Dr Darrell L. Bock, professor Perjanjian Baru di Dallas Theological Seminary, tidak dapat menyembunyikan rasa geramnya, setelah membaca The Da Vinci Code. Katanya, “No longer is The Da Vinci Code a mere piece of fiction. It is a novel clothed in claims of historical truth, critical of institutions and beliefs held by millions of people around the world.” Jadi, kata professor ini, Da Vinci Code memang bukan sekadar novel fiksi biasa, tetapi sebuah novel yang diselubungi dengan klaim kebenaran historis dan kritik terhadap institusi dan kepercayaan agama Kristen.

Maka, Bock mengerahkan kemampuannya untuk menulis bantahan terhadap novel ini. Melalui bukunya, Breaking the Da Vinci Code (Nashville: Nelson Books, 2004). Bock melakukan kajian historis untuk mengkritik berbagai fakta sejarah yang disajikan Brown. Bock hanyalah satu dari puluhan teolog Kristen yang tersengat The Da Vinci Code. Di toko-toko buku internasional, kini berjejer puluhan buku yang menyanggah novel itu.

Ya, The Da Vinci Code, memang hanya sebuah novel fiksi. Tetapi, novel itu telah menyengat dan menggoncang kepercayaan dalam tradisi Kristen yang telah berumur 2000 tahun. Maka, meski hanya sebuah novel, sebuah cerita fiksi, tetapi dihadapi dengan serius oleh kalangan teolog Kristen.

Novel yang dibaca oleh puluhan juta orang di dunia ini bagaimana pun termasuk luar biasa dan digarap dengan riset yang serius. Brown mengklaim bahwa berbagai fakta sejarah seputar Yesus, Maria Magdalena, Opus Dei, The Priori of Sion, yang dipaparkan dalam novelnya adalah 100 persen benar. “Semua deskripsi tentang karya seni, arsitektur, dokumen, dan ritual rahasia yang dipaparkan dalam novel ini adalah akurat,” tulis Brown dalam pembukaan novelnya.

Mengapa novel ini begitu menyengat para teolog Kristen??? Itu tidak lain, karena novel ini memaparkan fakta-fakta baru tentang Yesus yang membongkar dasar-dasar kepercayaan Kristen yang bertahan selama 2000 tahun. Dalam Kristen, dogma pokok dan paling inti adalah kepercayaan tentang kebangkitan Yesus (resurrection). Bahwa setelah mati di tiang salib, Yesus bangkit pada hari ketiga untuk menebus dosa umat manusia. Dalam Bible Perjanjian Baru disebutkan, bahwa saksi pertama kebangkitan Yesus – yang menyaksikan kubur Yesus kosong – adalah seorang wanita bernama Maria Magdalena.

Jika dasar kepercayaan ini dibongkar, maka runtuhlah agama Kristen. Paul Young, dalam bukunya, Christianity, menulis, bahwa tanpa resurrection, maka tidak ada “kekristenan”. Ibarat potongan-potongan gambar (jigsaw), maka jika resurrection dibuang, jigsaw itu tidak akan membentuk apa yang disebut sebagai Christianity.

“We can not remove a portion of the Christian jigsaw labelled “resurrection” and leave anything which is recognizable as Christian faith. Subtract the resurrection and you destroy the entire picture.” (Paul Young, Christianity, London: Hodder Headline Ltd, 2003).

Nah, the Da Vinci Code adalah sebuah novel yang memporak-porandakan sebuah susunan gambar yang bernama Kristen itu. Betapa tidak, dalam novel ini, misalnya digambarkan bahwa sebelum disalib Yesus sebenarnya sempat mengawini Maria Magdalena dan mewariskan gerejanya kepada Maria Magdalena, bukan kepada Santo Petrus yang kemudian melanjutkan pendirian Gereja di Roma. Bahkan, bukan hanya kawin, Yesus pun punya keturunan dari Maria Magdalena, yang karena takut dikejar-kejar murid-murid Yesus maka melarikan diri ke Perancis. Keturunan Yesus itu masih tetap ada hingga kini, dan selama ratusan tahun memelihara tradisi Gereja garis Maria Magdalena. Rahasia ini masih tetap dipegang, dan disimpan dengan sangat ketat. Selama ratusan tahun itu pula, gereja Katolik berusaha memburu para penganut Gereja Maria Magdalena dan membantai anak keturunan Yesus yang dikhawatirkan mengancam kekuasaan Gereja Katolik dan Gereja-gereja yang menuhankan Yesus.

Dalam novelnya, cerita dan fakta sejarah seputar Yesus dihadirkan melalui dialog tokoh-tokohnya, sehingga terkesan sebagai ungkapan realitas sejarah. Karena itu, dalam beberapa iklannya, buku ini digambarkan sebagai “memukau logika dan mengguncang iman.” Bukan itu saja. Melalui The Da Vinci Code, Brown juga membangun citra buruk Vatikan dengan nyaris “sempurna”. Bagaimana, misalnya, Paus mendukung aktivitas Opus Dei, sebuah kelompok Katolik yang tidak segan-segan melakukan pembunuhan dengan kejam dalam menjalankan misinya.

Sebut misalnya, sebuah dialog antara agen Sophie Neveu, agen rahasia Perancis yang juga keturunan Maria Magdalena, dengan Leigh Teabing, seorang yang digambarkan sebagai bangsawan Inggris dan pakar sejarah Kristen. Sophie hanya terbengong-bengong mendapatkan berbagai fakta baru seputar Yesus dari Teabing. Ia sulit menolak bukti yang disodorkan Teabing dari Gnostic Bible, bahwa Yesus memang mengawini Mary Magdalena dan mempunyai keturunan. Di Gospel of Philip, misalnya tertulis:

“And the companion of the Saviour is Mary Magdalene. Christ loved her more than all the disciples and used to kiss her often on her mouth. The rest of the disciples were offended by it and expressed disapproval. They said to him, “Why do you love her more than all of us?”

Jadi, kata Bible ini, Yesus mempunyai pasangan bernama Mary Magdalena dan terbiasa mencium Maria di bibirnya. Yesus mencintai Magdalena lebih dari pengikutnya yang lain, sehingga menyulut rasa iri hati. Itulah yang akhirnya memicu pelarian Mary Magdalena dari Yerusalem ke Perancis dengan bantuan orang-orang Yahudi. Dalam bahasa Aramaic, kata “companion” menurut Teabing, bisa diartikan sebagai “pasangan”. Sophie yang membaca bagian-bagian berikutnya dari Bible Philip itu menemukan fakta betapa romantisnya hubungan Yesus dengan Maria Magdalena. Ia lalu mengingat masa silamnya, ketika para pendeta Perancis mendesak pemerintahnya untuk melarang peredaran film The Last Temptationn of Christ; sebuah film garapan Martin Scorsese yang menggambarkan Yesus mengadakan hubungan seks dengan seorang wanita bernama Maria Magdalena.

Dalam diskursus gender equality saat ini, wacana tentang pewarisan Gereja oleh Yesus kepada seorang wanita tentu saja sangat menarik. Sebab, hingga kini, gereja Katolik tetap tidak mengizinkan wanita menjadi pastor. Begitu juga dengan doktrin “larangan menikah bagi pastor” (celibacy), masih tetap dipertahankan, meskipun sekarang mulai banyak para teolog Katolik yang menggugat larangan kawin ini. Prof Hans Kung, misalnya, melalui bukunya, The Catholic Church : A short history (New York: Modern Library, 2003), menyebut doktrin celibacy bertentangan dengan Bible (Matius, 19:12, 1 Timotius, 3:2). Doktrin ini, katanya, juga menjadi salah satu sumber penyelewengan seksual di kalangan pastor. Pendukung novel Dan Brown tentu akan setuju dengan gagasan Prof Hans Kung dan ide bolehnya wanita menjadi pastor. Logikanya, jika Yesus saja kawin dan mewariskan gerejanya kepada wanita, maka mengapa pengikutnya dilarang kawin dan melarang wanita menjadi pastor.

Sebenarnya gagasan Dan Brown bukanlah hal baru. Tahun 1982, terbit buku Holy Blood, Holy Grail, yang bercerita tentang perkawinan Yesus dengan Mary Magdalene dan punya anak keturunan. Bahkan, soal kebangkitan Yesus itu sendiri menjadi perdebatan yang panas di kalangan teolog. Apakah kebangkitan itu benar-benar terjadi, atau sekedar cerita; apakah kebangkitan itu bersifat objektif atau subjektif.

Sejak tahun 1985, misalnya, sudah dimulai penyelidikan Yesus Sejarah yang lebih dikenal dengan nama ‘Jesus Seminar’ di Amerika Serikat. Mereka meragukan fakta historis, bahwa Yesus bangkit. Kelompok ini dimotori oleh John Dominic Crossan dan Robert W Funk yang disponsori oleh Westar Institute. Mereka mengadakan seminar-seminar di sejumlah kota di AS dan menerbitkan berbagai buku seperti The Five Gospel, The Acts of Jesus, dan The Gospel of Jesus.

Sejak ratusan tahun lalu, perdebatan tentang Yesus memang tidak pernah berhenti. Masalahnya, tidak mudah menjelaskan dengan logika yang masuk akal, bahwa Yesus adalah Tuhan sekaligus manusia. Sejak awal-awal kekristenan, sudah muncul kelompok Arius yang menolak pendapat bahwa Yesus adalah Tuhan. Arius dan pengikutnya dikutuk Gereja.

Dalam bukunya, Who Killed Jesus (New York : Harper Collins Publishers, 1995), John Dominic Crossan, menulis cerita tentang kubur Yesus yang kosong adalah “satu cerita tentang kebangkitan dan bukan kebangkitan itu sendiri.” Cerita tentang Yesus seperti tertera dalam Bible, menurut Crossan, disusun sesuai dengan kepentingan misi Kristen ketika itu. Termasuk cerita seputar penyaliban dan kebangkitan Yesus.

Perdebatan seputar Yesus bahkan pernah menyentuh aspek yang lebih jauh lagi, yakni mempertanyakan, apakah sosok Yesus itu benar-benar ada atau sekadar tokoh fiktif dan simbolik? Pendapat seperti ini pernah dikemukakan oleh Arthur Drews (1865-1935) dan seorang pengikutnya William Benjamin Smith (1850-1934). Bahkan, perdebatan seputar Yesus itu kadangkala sampai menyentuh moralitas Yesus sendiri dalam aspek seksual. Soal ketidakkawinan Yesus misalnya: karena tidak mampu, karena tidak ada wanita, atau karena homoseks.

The Times, edisi 28 Juli 1967, mengutip ucapan Canon Hugh Montefiore, dalam konferensi tokoh-tokoh gereja di Oxford tahun 1967: “Women were his friends, but it is men he is said to have loved. The stricking fact was that he remained unmarried, and men who did not marry usually had one of three reasons: they could not afford it, there were no girls, or they were homosexual in nature.”

Jadi, wacana tentang Yesus dalam dunia akademis memang sudah bertebaran. Kelebihan Dan Brown adalah mampu mengangkat wacana itu ke dalam sebuah novel populer. “Ramuan yang tepat” antara fakta sejarah dan fiksi menjadikan novel ini memang berpotensi besar mengguncang kepercayaan iman Kristen. Apalagi, masyarakat Barat memang dikenal hobi dengan mitos dan legenda. Mereka tak henti-hentinya menciptakan berbagai fiksi dan mitos dalam kehidupan mereka : Superman, Batman, Spiderman, Rambo. Persis seperti nenek moyang mereka di Yunani Kuno. Kita tunggu saja, bagaimana kehebohan terjadi saat the Da Vinci Code muncul dalam bentuk film.

Lelucon Mengagumkan

Salah satu buku yang ditulis untuk menangkis imajinasi Dan Brown, berjudul Fact and Fiction in the Da Vinci Code karangan Steven Kellemeier. Bisa dibilang inilah satu-satunya buku penangkal yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Diterbitkan Optima Pers bulan Februari 2005, dengan judul Fakta dan Fiksi dalam The Da Vinci Code. Di toko-toko buku, buku setebal 107 halaman ini disandingkan dengan The Da Vinci Code. Tentu harapannya adalah mereka yang membeli Da Vinci akan mencomot pula buku ini.

Kellemeier mengupas satu demi satu isu-isu krusial dalam Da Vinci. Jika di awal Da Vinci Dan Brown menegaskan “Semua deskripsi karya seni, arsitektur, dokumen, dan ritual rahasia dalam novel ini adalah akurat”, maka Kellemeier menyodorkan fakta-fakta yang membuktikan bahwa akurasi itu hanya ada di “dunia pengganti” Dan Brown.

Misalnya tentang peran Konstantin dalam penyusunan alkitab baru. Menurut Kellemeier, Konstantin tidak ada kaitannya dengan pengumpulan alkitab. Daftar pertama kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru secara resmi disetujui oleh Paus Damasus tahun 382, disahkan pada Konsili Hippo dan Kartago tahun 393 dan 397. “Konstantin sudah berada di dalam makam selama sekitar setengah abad ketika daftar buku Alkitab secara resmi dikumpulkan” tulis Kellemeier. Sayang Kellemeier tidak tuntas menjelaskan masalah ini (baca juga tulisan: Jejak Konstantin di Gereja).

Tentang voting pada Konsili Nicaea untuk memutuskan apakah Yesus itu Tuhan atau manusia, Kellemeier bertutur yang terjadi tidaklah persis demikian. Setiap orang di Nicaea setuju Kristus adalah Tuhan, sekaligus ia adalah manusia. Mereka bertemu untuk memutuskan bagaimana keseluruhan keilahian itu bekerja. Kellemeier mengaku terjadi voting yang dimenangkan kelompok “Yesus adalah Tuhan”. Para uskup kemudian membakar ajaran Arius. Konstantin mengirim Arius ke pengasingan, tetapi kemudian memanggilnya kembali.

Bagaimana perkawinan Yesus dengan Maria Magdalena? Isu sensitif yang menjadi fondasi penting The Da Vinci Code ini tidak dijawab langsung oleh Kellemeier. Ia menjelaskan, Yesus adalah pengantin, tetapi ia tidak menikahi seorang perempuan. Ia menikahi Gereja. Setiap orang yang dibaptis atau menyatukan diri sendiri pada pengantin Ilahi, Gereja, mengambil bagian dalam perkawinan ilahi. “Allah menikahi dirinya sendiri pada kita melalui sakramen baptis.” Tulis Kellemeier.

Halaman demi halaman the Da Vinci Code dikupas oleh Kellemeier. Dia mengajak pembaca untuk sampai pada kesimpulan bahwa “Brown memang memberi kita suatu lelucon yang mengagumkan, suatu catatan untuk pembaca yang waspada dan berpengetahuan, bahwa keseluruhan novelnya adalah serangkaian lelucon aneh dan anagram untuk menghibur kita” (hlm. 87).

Dan di akhir bukunya, Kellemeier memastikan apa yang dikemukakan Dan Brown bukanlah bidah baru. Sudah sering dikemukakan orang, ratusan kali sebelumnya, dan ratusan kali pula ditentang. “Satu-satunya perbedaan antara Dan Brown dan kelompok sebelumnya adalah dia berhasil memperoleh lebih banyak uang dibanding mereka. Itulah harga kemajuan,” tulis Kellemeier.

Siapa Steven Kellemeier? Inilah kelemahan utama buku penyanggah Da Vinci ini. tidak ada penjelasan tentang siapa dia, karya apa yang sudah pernah ditulis. Sayang, padahal informasi tentang hal-hal itu akan memudahkan kita untuk mengukur kredibilitas karya ini.

Jejak Konstantin di Gereja

Benarkah Konstantin berperan penting dalam penyusunan doktrin Kristen?

Penuturan Dan Brown via tokoh Leigh Teabing tentang peran Kaisar Konstantin dan Konsili Nicaea 325 M dalam penyusunan Alkitab, bukan bualan fiktif. Banyak buku telah ditulis oleh sejarawan agama, seputar kontroversi Konsili Nicaea 325 M. Karena konsili inilah yang menetapkan Alkitab seperti bentuknya saat ini dan memformulasikan doktrin Trinitas. Doktrin yang menjadi fondasi ajaran Kristen.

Sepeninggal Yesus dan para sahabat, tidak ada kelompok penganut Kristen dalam jumlah besar. Yesus dan para sahabatnya memang tidak membawa syariat baru, selain menegakkan hukum Taurat Perjanjian Lama. Mereka itulah pengikut Kristen awal atau Yudeo-Christian. Kelompok ini hanyalah sebuah sekte Yahudi yang taat pada hukum Taurat.

Penyimpangan pertama terjadi ketika Paulus mulai menyebarkan ajaran Yesus ke kalangan gentile (non Yahudi). Konsili Yerusalem 49 M membebaskan mereka dari ritual khitan dan upacara-upacara Yahudi. Banyak orang Yudeo-Christian yang menentang perlakuan khusus ini. kelompok ini memisahkan diri dari Paulus karena menganggap Paulus telah berkhianat dan menyimpang dari ajaran Yesus. Hingga 70 M, kelompok Yudeo-Christian merupakan mayoritas dalam gereja.

Ketua kelompok Christian adalah Jacques seorang kerabat Yesus. Ia didampingi oleh Petrus dan Yahya (Yohanes). Keluarga Yesus memegang peranan penting dalam kelompok Yudeo-Christian. Namun sejak pemberontakan Yahudi terhadap Romawi dan jatuhnya Yerusalem pada 70 M, keadaan menjadi terbalik. Aliran Yudeo-Christian dimusuhi dan dijauhi di seluruh wilayah kekuasaan Romawi. Sebaliknya, ajaran Paulus makin populer. Ajaran ini makin lama makin jauh dari sumber aslinya dan cenderung merupakan agama baru.

Perseteruan antara kubu Yudeo-Christian dan pengikut Paulus, menyebabkan dunia Kristen terbelah dalam berbagai aliran teologis seputar sifat ketuhanan dan kemanusiaan Yesus. Zaman itu dikenal sebagai zaman patristik (abad pertama hingga abad keempat Masehi). Disebut zaman paristik karena pada zaman ini, umat kristiani terbelah dalam berbagai aliran teologis yang dianut oleh para patris (imam atau pendeta tinggi).

Ketika itu, para patris menghadapi dilema dalam mempertemukan konsep Tuhan dalam Taurat yang diterangkan sebagai Tuhan Yang Mahaesa (monotheist) dan konsep Tuhan menurut Paulus, yaitu Tuhan yang dualistis: Tuhan Bapak dan Tuhan Anak. Dilemanya terletak pada keharusan menerima doktrin Paulus. Karena Pauluslah yang mula-mula menyebarkan ajaran Kristen ke kalangan gentile (non Yahudi yg jumlahnya lebih banyak dari Yahudi itu sendiri). Ketika itu, ajaran Kristen sudah meluas dan dianut oleh berbagai bangsa. Ajaran Kristen juga perlahan tapi pasti, menjadi agama mayoritas di Kekaisaran Romawi.

Alhasil, penolakan terhadap doktrin Paulus sama artinya dengan menolak keabsahan kedudukan orang Non Yahudi dalam agama Kristen. Karena dilema itu, para patris pun punya kesimpulan sendiri-sendiri.

Basilides (90-150 M) punya versi sendiri dalam menjelaskan dualisme konsep ketuhanan itu. Tuhan Perjanjian Baru yang digambarkan Paulus adalah Tuhan Bapak Yang Tertinggi yang menjadi sumber cinta kasih. Kristus adalah Anak dari Bapak Tuhan Yang Tertinggi. Kristus dikirim oleh Bapak untuk menolong manusia dari cengkeraman hukum keadilan Tuhan versi Perjanjian Lama.

Markion (100-160 M), sepaham dengan Basilides tentang adanya dua macam Tuhan. Markion berpendapat Yesus bertubuh maya bukan sebagai manusia kongkret. Namun, aliran ini hanya mengakui injil Lukas dan 10 surat kiriman Paulus. Aliran ini juga sangat membenci Tuhan versi Perjanjian Lama, yang dianggap berperan dalam penyaliban Yesus.

Ireneus (150-202 M). Patris ini tidak menerima konsep dua Tuhan. Menurutnya, Tuhan Perjanjian Baru dan Tuhan Perjanjian Lama adalah satu. Ireneus juga menolak konsep Yesus bertubuh maya. Menurutnya, Yesus adalah bener-bener jelmaan Tuhan.

Tertullianus (155-220 M). Aliran ini sejalan dengan ajaran Paulus, terutama tentang dosa warisan. Ia mencoba menyempurnakan konsep dosa warisan secara filosofis menurut hukum sebab akibat. Tentang ketuhanan Yesus, Tertullianus menganggap Yesus sebagai Tuhan yang lebih rendah daripada Tuhan Yang Tertinggi.

Arius (270-350 M) versus Athanasius (298-373 M). Konsep Arius tentang Ketuhanan menimbulkan kontroversi besar. Karena berbeda dengan kebanyakan patris, Arius menolak konsep ketuhanan Yesus. Menurut Arius, Yesus Kristus itu makhluk. Tidak sehakikat dengan Tuhan. Sifat-sifat ketuhanan pada Yesus bukan sifat yang hakiki, melainkan anugerah dari Tuhan. Faham Arius itu dengan cepat mendapat pengaruh di Mesir, Palestina, dan Konstantinopel. Ketika pertama kali melontarkan konsepnya, Arius adalah seorang prebister (imam kecil) di Iskandariah.

Dengan lantang, ia menantang ajaran Gereja bahwa Yesus adalah Tuhan. Karena ajarannya, Arius diusir dari Iskandariah. Namun pendapatnya mendapat dukungan dari uskup-uskup Nicomedia, Maradonia, Palestina, Assiut, dan bahkan Patriarch Konstantinopel.

Athanasius (uskup Iskandariah) adalah patris yang paling keras menentang Arius. Ia mengajarkan bahwa Anak (Yesus) bukan makhluk dan setengah Tuhan atau Tuhan yang kedua. Dia satu zat dengan Tuhan Bapak dalam segala-galanya. Ketika Anak itu datang ke dunia, itu berarti Tuhan sendiri yang datang menyelamatkan manusia.

Perselisihan antara kubu Arius dan Athanasius membuat Kaisar Konstantin khawatir. Akhirnya Kaisar turun tangan. Dikumpulkanlah para Patriarch dan Uskup di seluruh negeri sebanyak 2.018 orang untuk bersidang di Nicaea pada tahun 325 M. Ini adalah konsili Oikumenis pertama dalam sejarah kekristenan, untuk membicarakan Yesus itu Tuhan atau bukan. Perdebatan berlangsung sengit, tanpa ada keputusan. 1.700 uskup sepaham dengan Arius. Sisanya sejalan dengan Athanasius. Namun Konstantin enggan mengambil keputusan. Konsili pun dibubarkan.

Namun, setelah itu, Konstantin mengumpulkan para uskup yang dianggap sepaham dengan Athanasius. Melalui pemungutan suara, Konstantin menyatakan ajaran Athanasius yang benar dan menjadi ajaran resmi di kekaisaran Romawi. Dalam voting itu, kelompok Athanasius unggul dengan perbandingan 315 lawan 3. selain ketuhanan Yesus, konsili juga menetapkan tanggal paskah, administrasi sakramen, dan peran uskup.

Namun Konsili Nicaea belum sepenuhnya merumuskan konsep trinitas. Baru pada konsili Konstantinopel 381 M dan Konsili Chalcedon 451 M, Roh Kudus ditetapkan sebagai Tuhan. Maka lengkaplah ajaran Trinitas : Tuhan Bapak, Tuhan Anak, dan Roh Kudus.

Di masa Konstantin, agama resmi Romawi adalah pemujaan matahari, dan Konstantin adalah pendeta kepalanya. Ketika itu, Konstantin menghadapi kenyataan, 3 abad sepeninggal Yesus, penganut Kristen tumbuh berlipat-lipat. Kaum Kristen dan pagan mulai berperang. Situasi dianggap mengancam dan memecah belah Romawi.

Konstantin memutuskan untuk menyatukan Romawi dalam sebuah agama tunggal, Kristen. Caranya, mengalihkan para penganut pagan pemuja matahari menjadi Kristen, dengan meleburkan simbol-simbol, tanggal-tanggal, serta ritus-ritus pagan ke dalam tradisi Kristen yang sedang tumbuh. Melalui Konsili Nicaea, Konstantin berhasil menciptakan agama hybrid yang dapat diterima kedua belah pihak. Konstantin juga menggeser hari Sabat Yahudi sebagai hari peribadatan Kristen, menjadi hari Minggu agar bertemu dengan hari kaum pagan memuliakan matahari, Sun-day.

Lord Headly, memerinci beberapa kepercayaan pagan yang mempengaruhi ajaran Kristen saat ini. salah satunya adalah Mithraisme yang berasal dari Persia. Mithra dipercaya sebagai perantara antara Tuhan dan manusia. Mithras, Tuhan pra Kristen disebut Putra Tuhan dan Cahaya Dunia, lahir dan mati tanggal 25 Desember, dikubur dalam makam batu dan dibangkitkan setelah 3 hari.

Tanggal 25 Desember juga hari lahir Osiris (Dewa rakyat Mesir), Adonis (Dewa rakyat Syria), dan Dionysus. Lord Headly juga melihat ada persamaan antara kepercayaan Kristen sekarang terhadap Yesus dengan kepercayaan orang Yunani terhadap Apollo, dan orang Romawi terhadap Hercules. Sementara dalam kepercayaan bangsa Babylon, Tuhan Bel Astarte adalah anak tunggal Tuhan yang diturunkan ke bumi. Bel juga dipercaya lahir tanggal 25 Desember.

Pada waktu itu Gereja Yunani mengira hari lahir Yesus tanggal 7 Januari. Namun PausLiberius pada 530 M menetapkan kelahiran Yesus pada 25 Desember.

Meminjam tokoh antagonis, Leigh Teabing sebagai penutur, Brown melukiskan Konstantin sebagai seorang pagan (penganut polytheisme) seumur hidup. Dengan lebih memilih konsep Athanasius, dia bisa memasukkan unsur-unsur paganisme ke dalam Kristen, sehingga para pemeluk pagan tidak keberatan memeluk Kristen.

Menurut Brown, Konstantin dibaptis menjadi Kristen di ranjang kematiannya, karena terlalu lemah untuk melawan. Tapi dengan cara itulah, Konstantin telah berhasil menyelamatkan Romawi dari kehancuran. Konstantin juga berhasil mengabadikan sisa-sisa kepercayaan pagan pada dogma dan ritual kristen versi Konsili Nicaea 325M.

Injil Gulungan Laut Mati

The Da Vinci Code karya Dan Brown bukanlah buku pertama yang mengantar publik ke diskusi yang selama ini hanya menarik perhatian segelintir sarjana alkitab. Tafsir ala post-modern terhadap temuan arkeologis baru bukanlah hal baru. Pembicaraan soal itu makin menghangat dalam lima dekade ini, seiring dengan ditemukannya “Naskah Gulungan Laut Mati” atau The Dead Sea Scrolls di sebuah gua dekat Qumran di Gurun Judea tahun 1950-an, dan teks Gereja Koptik di kawasan Nag Hammadi Mesir, 1945.

Tulisan dan fragmen itu ternyata bercerita soal Yesus dalam konteks pemahaman beragam komunitas. Isinya diluar wilayah keempat injil atau kitab Perjanjian Baru yang selama dua abad ini resmi diakui oleh gereja. Seperti kita tahu, keempat injil itu adalah injil Matius, Markus, Lukas dan Yohanes. Para sarjana kemudian menyebut temuan baru itu sebagai injil Maria, Petrus, Philipus, Thomas, dan Q. Dan sepertinya, tidak ada injil lain pendukung injil yang sekarang. Injil-injil dari luar yang semuanya sekarang tidak mendukung ketuhanan Yesus, oleh gereja dianggap injil “apokrifa” atau injil lemah/diragukan.

Nah, di mata Dan Brown, teks baru itu merupakan salah satu bukti adanya ajaran yang selamat dari ‘tekanan’ kekaisaran Roma di bawah Konstantin. Namun para sarjana Kristen menilai temuan baru itu tak bisa dipertentangkan dengan isi keempat injil resmi. Gereja resmi “mengenyampingkannya”, karena teks-teks itu secara sepihak oleh gereja ‘dianggap’ telah ditulis dalam rentang waktu yang jauh dari masa kehidupan Yesus.

Kemudian klaim Brown soal keilahian Yesus yang baru muncul setelah Konsili Nicaea ternyata tak cocok dengan dokumen gereja perdana yang menyebutkan bahwa orang Kristen sejak awal telah percaya bahwa Yesus adalah Raja, Tuhan, dan Penyelamat. Memang, setelah Yesus disalibkan, ekspresi awal mengenai kekristenan beragam sekali.

Semua ini bermula dari ketertarikan Brown pada Leonardo Da Vinci dan misteri yang tersembunyi di dalam lukisan-lukisannya. Saat itu dia sedang belajar sejarah seni di Universitas Seville di Spanyol. Bertahun-tahun kemudian, ketika dia melakukan riset untuk novel ketiganya, Angels & Demons, dan arsip-arsip rahasia Vatikan, dia berhadapan dengan enigma Da Vinci lagi. Sejak itulah secara khusus dia tertarik pada lukisan Da Vinci. Dalam sebuah wawancara, Brown mengatakan bahwa diperlukan riset selama setahun sebelum dia menulis The Da Vinci Code.

Brown bukan tidak menyadari mengenai besarnya potensi kontroversi yang terkandung dalam novelnya. Ketika berbicara di sebuah forum di Concord, New Hampshire, Mei tahun lalu, ia malah mengatakan sempat mempertimbangkan untuk memasukkan pula dugaan bahwa Yesus selamat dari penyaliban. Ia menyimpulkan itu berdasar “sumber-sumber yang kredibel”. Ia akhirnya mengabaikan itu karena “kelewatannya tiga atau empat langkah lebih jauh.” Brown memang mengangkat topik-topik gereja yang jauh lebih gemerlap. Disengaja atau tidak, novel Brown yang mencampurkan fakta dan fiksi itu telah membuka kembali sebuah episode kontroversi gereja yang demikian panjang.

Secara merendah, Brown mengakui memilih topik yang kontroversial ini untuk alasan pribadi : “Terutama sebagai eksplorasi atas agama saya sendiri dan gagasan saya tentang agama. Saya yakin bahwa satu alasan mengapa buku ini menjadi kontroversial adalah bahwa agama adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didiskusikan dalam istilah-istilah kuantitatif. Saya menganggap diri saya sebagai siswa dari banyak agama. Niat tulus saya adalah bahwa The Da Vinci Code, selain menghibur pembaca, juga menjadi pintu pembuka bagi pembaca untuk mengawali eksplorasi agama bagi mereka sendiri.”

Uniknya, The Da Vinci Code ternyata tidak menuai hujatan dari Vatikan. Meski isinya panas dan meruntuhkan akidah kristiani, fatwa mati dan pembakaran buku seperti pernah dilakukan gereja pada abad pertengahan tak terjadi. Bahkan, menurut penerbitnya, Doubleday, kini Brown sedang fokus pada karya terbarunya. Mantan guru itu dalam situsnya di internet menyatakan terbuka atas debat yang akan bermunculan menghadapinya.

Apakah ketidakpedulian gereja mencerminkan bahwa kontroversial itu memang pernah ada?????

Resource:

• Majalah Insani, April 2005 melalui E-Book "The Da Vinci Code" Terjemahan Indonesia

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dari Tuan Berubah Menjadi Tuhan (dalam bibel)

YOHANES 13:13 TUHAN atau Tuan

Yesus hanya diutus kepada bani israel - Bukti Alkitabiyah